Wednesday, October 9, 2013

CHECKS AND BALANCES DALAM SISTEM PRESIDENSIAL

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Perbedaan mendasar antara sistem presidensial dan sistem parlementer adalah pada pemegang dan 
penentu kekuasaan pemerintahan. Dalam sistem presidensial, pemegang kekuasaan pemerintahan 
adalah presiden. Kekuasaan tersebut terpisah dari kekuasaan legislatif yang dipegang oleh parlemen. Sebaliknya, ciri utama sistem parlementer adalah pada kekuasaan pemerintahan yang ada pada parlemen
itu sendiri. Oleh karena itu, kabinet adalah bagian dan bergantung kepada parlemen. Dengan sendirinya, dalam sistem parlementer terjadi penyatuan antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislatif. Penyatuan kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam parlemen tersebut merupakan salah satu
konsekuensi dari prinsip supremasi parlemen.
Dalam penyatuan itu dengan sendirinya tidak mungkin diterapkan prinsip checks and balances antara parlemen dan kabinet karena pada hakikatnya kabinet adalah bagian dari parlemen. Bahkan apa yang dilakukan oleh kabinet sepenuhnya bergantung pada keputusan parlemen. Dalam struktur parlementer yang demikian, terdapat potensi yang memungkinkan munculnya diktator mayoritas.

Pada titik inilah keberadaan partai oposisi sangat diperlukan sebagai instrumen checks and balances. Partai oposisi adalah partai yang tidak terlibat dalam kabinet karena kursi yang diperoleh tidak mencukupi untuk memenangi suara dalam pembentukan kabinet. Dengan sendirinya partai itu juga akan selalu kalah dalam proses pengambilan keputusan di parlemen. Oleh karena itu, posisi terbaik yang harus diambil adalah menjadi oposisi untuk meraih simpati rakyat demi kemenangan pada pemilu selanjutnya.

Oposisi dalam hal ini tidak saja terhadap kabinet pemerintahan, tetapi juga terhadap kelompok mayoritas di parlemen. Pengawasan dan pengkritisan yang dilakukan partai oposisi tidak terbatas pada pelaksanaan kebijakan atau undang-undang, tetapi juga terhadap kebijakan dan undang-undang itu sendiri yang pada satu titik dapat menjatuhkan kabinet dengan menyampaikan mosi tidak percaya.

Adapun dalam sistem presidensial, mekanisme checks and balances telah dilembagakan dalam institusi suprastruktur politik, yaitu pemisahan kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif yang masing-masing dipegang oleh presiden dan parlemen. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat.

Dalam hubungannya dengan parlemen, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen dan tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen kecuali karena alasan-alasan tertentu dan dengan mekanisme yang khusus pula. Dalam sistem presidensial di Indonesia, untuk mengimbangi dan mengawasi kekuasaan presiden, terdapat DPR dan DPD sebagai lembaga parlemen atau lembaga legislatif yang memiliki fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan.

Melalui fungsi legislasi, kekuasaan presiden dalam menjalankan pemerintahan dibatasi dan diimbangi melalui undang- undang yang dibuat oleh DPR bersama-sama presiden dan untuk beberapa bidang tertentu juga melibatkan DPD sebagai representasi daerah. Pengimbangan terhadap kekuasaan presiden juga terjadi dalam proses pembuatan APBN sebagai acuan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

Setiap RAPBN harus disetujui DPR dengan masukan dari DPD untuk dapat ditetapkan sebagai APBN. Dengan demikian sesungguhnya DPR dan DPD juga ikut menentukan kebijakan program pemerintahan dan penganggaran yang tertuang dalam APBN. Melalui fungsi pengawasan, DPR dan DPD akan senantiasa melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan kebijakan.

Pengawasan ini dimaksudkan agar undang-undang dan kebijakan yang telah dibuat benar-benar dilaksanakan dan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Pengawasan tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan pemerintahan karena salah satu ciri sistem presidensial yang dibangun adalah menentukan masa jabatan presiden secara pasti (fix term) kecuali karena alasan pelanggaran hukum dan ketidakmampuan menjabat sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Menjadi kewajiban seluruh anggota DPR dan DPD untuk melaksanakan ketiga fungsi yang dimiliki untuk berjalannya mekanisme checks and balances tanpa memandang induk partai politik apakah memiliki tokoh dalam kabinet atau tidak. Bahkan, anggota DPR dari partai presiden pun harus melaksanakan ketiga fungsi tersebut.

Struktur kelembagaan presidensial yang demikian menjadikan ada atau tidak adanya partai oposisi tidak relevan dengan upaya menciptakan checks and balances. Semua anggota DPR, dari partai oposisi ataupun bukan, tetap harus menjalankan ketiga fungsi yang dimiliki sebagai bagian dari mekanisme checks and balances.

Bahkan, menjadi atau tidak menjadi partai oposisi dalam sistem presidensial sama-sama tidak dapat menjatuhkan pre-siden dan wakil presiden kecuali karena alasan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam konstitusi melalui mekanisme impeachment.***

Menteri memang merupakan jabatan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa menteri bukan pegawai tinggi biasa. Menteri-menterilah yang terutama akan menjalankan pemerintahan (pouvoir executif) dalam praktik. Oleh karena itu Presiden SBY tentu akan sangat selektif dalam memilih menteri-menterinya dan adalah hak Presiden sepenuhnya untuk melakukan hal tersebut sesuai dengan mandat konstitusi.

Tentu dalam pembentukan kabinet nantinya Presiden akan sangat memperhatikan kualitas kepemimpinan dan kompetensi yang dimiliki seseorang. Namun, mungkin perlu pula ada pertimbangan politis di dalamnya. Bagaimanapun postur kabinet yang akan datang adalah hak Presiden untuk menentukan sesuai dengan mandat rakyat dan konstitusi.

Kiranya tidak perlu ada kekhawatiran hal itu akan melahirkan kekuasaan yang terlalu kuat atau terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Jika semua lembaga negara, terutama kekuasaan legislatif, menjalankan fungsinya, dengan sendirinya kekhawatiran itu dapat dicegah karena sesungguhnya mekanisme checks and balances telah built in dalam sistem presidensial yang dibangun

No comments: